Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena
atas berkat dan limpahan rahmatnya-lah maka kami bisa menyelesaikan makalah
dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah tentang “Perlawanan
Terhadap Kolonialisme Belanda”, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita
untuk mempelajari berbagai sejarah tentang cikal bakal Bangsa Indonesia dan
bisa mengetahui perjuangan dari rakyat-nya itu sendiri.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Dengan ini,
kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga
Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat untuk semua
pihak. Amin.
Prabumulih, Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ............................................................................................. 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................ 2
1.
Perang Tondano......................................................................................................... 3
2. Patimura angkat senjata ............................................................................................. 5
3.
Perang paderi ............................................................................................................ 8
KESIMPULAN................................................................................................................. 12
1.Perang Tondano

Latar Belakang
Perang Tondano:
Bahwa
hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perang antara orang Minahasa dengan
kompani Belanda, antara lain dipengaruhi oleh sikap antipati seluruh Walak di
Minahasa khususnya Walak Tondano atas kedatangan kolonial Belanda yang dianggap
sama dengan kolonial asing sebelumnya, yakni orang Tasikela (Portugis dan
Spanyol) yang telah membunuh beberapa Tona’as, antara lain Mononimbar dan
Rakian dari Tondano dan Tona’as Umboh dari Tomohon, serta adanya pemerkosaan
terhadap perempuan (Wewene) Minahasa. Hal ini menimbulkan kesan bahwa semua
orang kulit putih (kolonial) memiliki perangai yang sama alias kejam. Demikian
juga pada perang ketiga, dipicu oleh tertangkapnya Ukung Pangalila kepala Walak
Tondano, dan Ukung Sumondak kepala Walak Tompaso.
a.
Perang Tondano I
Sekalipun
hanya berlangsung sekitar satu tahun perang tonando di kenal dalam dua tahap. Perang Tondono
I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa barat orang –
orang spanyol sudah sampai di tanah Minahasa
(Tondono) Sulawesi Utara. Orang-orang spanyol disamping berdagang
juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agam
kristen di tanah minahasa adalah Fransiscus Xaverius. Hubungan dagang orang
minahas dan spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang
antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu
VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di ternate. Bahkan gubernur Ternate
bernama simon cos mendapatkan kepercayaan dari batavia untuk membebaskan
minahasa dari pengaruh spanyol. Simon cos kemudian menempatkan kapalnya di
selat lembeh untuk mengawasi pantai timur minahasa. Para pedagang spanyol dan
juga makasar yang bebas berdagang mulai tersungkir karena ulah VOC.
VOC
berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang minahasa menjual berasnya kepada
VOC. Oleh karena itu VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli
perdagangan bebas di sulawesi utara. Orang-orang minahasa menentang usaha
monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi
orang-orang minahasa. Untuk melemahkan orang-orang minahasa, VOC membendung
sungai temberan. Akibatnya aliran sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal
rakyat dan para pejuang minahasa. Orang-orang minahasa kemudian memindahkan
tempat tinggalnya di danau Tondono dengan rumah-rumah apung. Pasukan VOC
kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang terpusat di
danau Tondono. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya
antara lain :
(1) orang-orang Tondano harus menyerahkan
para tokoh pemberintak kepada VOC,
(2) orang-orang Tondano hrus membayar
ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman
pdi karena genangan air sungai temberan.
Ternyata
rakyat Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simo Cos
sangat kesal karena ultimatumnya tidak berhasil. Pasukan VOC akhirnya ditarik
mundur ke manado. Setelah itu rakyat tondano menghadapi masalah dengan hasil
pertanian yang menumpuk, tidak ada yang membeli. Dengan terpaksa mereka
kemudian mendekati VOC untuk membeli hasil-hasil pertaniannya. Dengan demikian
terbukalah tanah minahasa oleh VOC. Berakhirlah Perang Tondano I.
Orang-orang Minahasa itu kemudian memindahkan perkampungannya di danau
tondano ke perkampungan baru di daratan yang di beri nama Minawanua (ibu
negeri).
b. Perang Tondano II
Perang Tondano
II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan
kolonial belanda. Perang ini di latarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jendral
Deandels yang mendapat mandat untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam
jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan
pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki kebernian
berperang. Beberapa suku dianggap memiliki keberanian adalah
orang-orang Madura, Dayak dan Minahasa. Atas perintah deandels
melalu Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan
para Ukung.(Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah watak atau daerah
setingkat distrik). Dari Minahasa di terget untuk mengumpulkan calon
pasukan sejumlah 2000 orang yang akan di kirim ke Jawa. Ternyata
orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program deandels untuk
meregrut pemuda-pemuda minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para
ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan
terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktifitas perjuangannya
di Tondano, Minawanoa. Salah seorang pemimpin berlawanan itu adalah
Ukung Lonto ia menegaskan rakyat minahasa harus melawan kolonial belanda
sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2000 pemuda minahasa ke
jawa serta menolak kebijakan klonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras
secara Cuma-Cuma kepada belanda.
Dalam
suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger
kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang minahasa di
tondano, minawanua.
Belanda
kembali menerapkan strategi dengan membendung sungai temberan. Prediger juga
membentuk 2 pasukan tangguh. Pasukan yang satu disiapkan dari danau tondano dan
pasukan yang lain menyerang minawanua dari darat. Tanggal 23 oktober 1808
pertempuran mulai berkobar. Pasukan belanda yang berpusat di danau tondano
berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi
danau dengan perkampungan minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang
minahasa di minawanua. Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat
yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke
rumah.pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24
oktober 1808 pasukan belanda dari darat membombardir kampung pertahanan
Minawanua. Serangan terus di lakukan belanda sehingga kampung itu seperti tidak
ada lagi kehidupan. Pasukan prediger mulai mengendorkan serangannya.
Tiba-tiba
dari perkampungan itu orang-orang tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya
sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak belanda. Pasukan Belanda
terpaksa di tarik mundur. Seiring dengan itu sungai temberan yang di bendung
mulai meluap sehingga mempersulit pasukan belanda sendiri. Dari jarak jauh
belanda terus menghujani meriam ke kampung minawanua, tetapi tentu idak
efektif. Begitu juga swrangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat
jaung orang-orang tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang
paling besar tenggelam di danau. Perang Tondano II berlangsung cukup
lama,bahkan sampai agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan
makananan mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada belanda. Namun dengan
kekuatan yang ada para pejuang tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya
pada tanggl 4-5 Agustus 1809 benteng pertahanan moraya milik para pejuang
hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih
mati dair pada menyerah.
2.Pattimura
angkat senjata

A. Latar
Belakang Perlawanan
Perlawanan
Pattimura terjadi di Sapura, yaitu sebuah kota kecil di dekat pulau Ambon.
Sebab-sebab terjadinya perlawanan :
a) Kembalinya
pemerintahan kolonial Belanda di Maluku dari tangan Inggris.
b)
Pemerintahan kolonial Belanda memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib yang sudah dihapuskan oleh Inggris.
c)
Pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan uang kertas sebagai pengganti uang
logam yang sudah berlaku di Maluku, yang menambah kegelisahan rakyat.
d) Belanda
mulai menggerakkan tenaga dari kepulauan Maluku untuk menjadi tentara Belanda.
B.
Tokoh-tokoh Perlawanan
a) Kapiten Pattimura (Thomas Mattulessi)
b) Rhebok
c) Thomas Pattiwel
d) Raja tiow
e) Lukas Lutamahina
f) Johanes Mattulessi
C. Jalannya Perang
Sejak awal
bulan Maret 1817 berbagai kelompok Maluku Tengah sudah mulai mengadakan pertemuan-pertemuan
untuk membicarakan situasi baru akibat adanya rencana-rencana pemindahan
kekuasaan dari tangan Inggris ke Belanda. Pada pertemuan tanggal 14 Mei 1817 di
Pulau Saparua para pemuda dan penguasa-penguasa desa (raja atau patih dan orang
kaya) memutuskan untuk menghancurkan pusat kekuasaan kolonial do Banten
Duurstade yang terletak di pulau Saparua. Keputusan yang sangat dirahasiakan
ini diteruskan kepada setiap negeri di pulau itu. Selain itu dalam musyawarah
di tempat itu mereka juga memilih Thomas Mattulessi sebagai pemimpin perang
dengan julukan Pattimura.
Nyaris
rencana penyerbuan Duurstede buyar karena beberapa golongan pemuda dari desa
Porto tidak sabar. Pada malam hari tanggal 14 Mei 1817, kelompok pemuda ini
mendatangi dan membongkar perahu milik pemerintah yang sedianya akan mengangkut
kayu bahan bangunan dari Porto ke Ambon. Pada malam hari hari itu juga para
pemuda mulai berdatangan sekitar benteng Duurstede dan pagi harinya tanggal 15
mei 1817 tembakan-tembakan mulai dilancarkan. Tidak lama kemudia Kapiten
Pattimura tiba untuk memimpin penyerbuan ke arah Duurstede. Dua kali penyerbuan
dilakukan tanpa hasil. Tembakan-tembakan meriam dari arah benteng tidak dapat
ditandingi para pemuda yang hanya bersenjatakan beberapa bedil, pedang, tombak,
dan lain-lain. Namun karena tembakan-tembakan mesiu itu habis dan akhirnya para
serdadu yang berada di dalam benteng menyerahkan diri. Setiap penguni benteng
tersebut termasuk Residen Van Den Berg beserta keluarganya musnah, kecuali
seorang puteranya yang berumur lima tahun.
Jatuhnya
Duurstede bagi Belanda merupakan suatu pukulan besar. Sebab itu tidak lama
kemudian mereka menyusun suatu kekuatan untuk merebutnya kembali. Pasukan yang
dipimpin Mayor Beetjes itu tiba di Saparua pada tanggal 20 Mei 1817. Pasukan
Beetjes tiba sekitar pukul 11.00 dan mendarat di sebelah barat dari benteng
Duurstede.
Sejak armada
kapal Beetjes memasuki teluk Saparua, Kapitan Pattimura sudah siap dengan
strategi yang telah disusunnya. Seluruh pasuka telah disusun rapi di sepanjang
pantai. Setiap gerakan armada diikuti oleh pasukan itu dengan cermat. Sekitar
1000 orang yang bersenjatakan bedil dan sebagian lagi bersenjatakan pedang dan
tombak segera dikonsentrasikan di tempat pendaratan Belanda. Strategi yang
diterapkan oleh Pattimura berhasil menghancurkan pasukan Beetjes pada tanggal
25 Mei 1817. setelah itu strategi selanjutnya dari Pattimura yaitu melakukan
penyerbuan ke arah benteng Zeelandia di Pulau Haruku.
Penyerbuan
pertama dilakukan pada tanggal 30 Mei 1817, serangan pasukan Pattimura yang
pertama berhasil digagalkan oleh pihak Belanda. Para pasukan Pattimura tidak
berani untuk mendekati Benteng Belanda, karena tembakan meriam yang dilakukan
oleh serdadu Belanda dari arah Benteng tersebut. Sedianya keesokan harinya akan
dilakukan serangan lagi dari pihak Pattimura, tapi rencana itu tertunda,
dikarenakan Belanda berhasil menangkap salah seorang pasukan, dan disiksa
sehingga terpaksa harus menceritakan rencana tersebut.
Tiga hari
setelah itu, serangan dilancarkan kembali dari pukul 08.30 sampai sekitar pukul
11.30. Serangan yang dilakukan beberapa jam ini mendapat balasan dari pihak
Belanda yang menembakkan meriam ke arah pasukan Pattimura sehingga gerombolan
pasukan yang dipimpin Pattimura menjadi buyar dan berserakkan. Setelah satu
minggu setelah penyerbuan ke benteng Zeelandia ini, muncul beberapa pihak yang
mencoba untuk melakukan perundingan. Sebuah bendera di tancapkan di tepi pantai
dengan sepucuk surat yang memaklumkan gencatan senjata 24 jam untuk menjajaki usaha-usaha
perundingan.
Namun
Perundingan yang diprakarsai oleh Groot ternyata gagal, kecurigaan dari pihak
Grootlah yang menyebabkan perundingan ini menjadi gagal. Dengan demikian
peperangan dilancarkan kembali. Armada dan pasukan Groot kini menuju ke Duurstede
yang memang sengaja dilepaskan oleh kapitan Pattimura karena sudah sejak semula
mesiu dari meriam-meriamnya telah habis. Sekalipun pasukan-pasukan Groot
berhasil menguasai benteng tersebut, namun di luar tembok-temboknya pasukan
Pattimura tetap berkuasa.
D. Akhir
Perang
Perlawanan yang tidak kunjung reda
di Saparua, Haruku dan Ambon dengan bantuan pasukan-pasukan Alifuru dari Seram
itu berlangsung terus dalamm bulan Agustus sampai November. Sekalipun
persenjataan Pattimura tidak lengkap karena hanya kira-kira 20% saja dari
pasukannya memiliki bedil tua yang biasanya dipakai untuk berburu, sedangkan
sebagian besar hanya memakai parang, tombak, dan perisai. Kendati demikian
walau hanya dengan persenjataan yang seadanya tetapi itu semua didukung oleh
strategi yang mempuni sehingga penyerangan dapat dilakukan secara efektif.
Dalam bulan
November 1817, pasukan Belanda mendapatkan bantuan 1500 orang dari kerajaan
ternate dan tidore atas permintaan Gubernur Middelkoop, dan sebuah armada yang
lebih kuat dari jawa yang dipimpin langsung oleh Laksamana Muda A.A Buyskes
yang selain menjabat panglima armada di Hindia belanda juga menjadi Komisaris
Jenderal I atau orang pertama di Batavia.
Dengan
kekuatan yang besar, Buyskes mengirimkan sebuah pasukan kecil yang terdiri dari
orang-orang ternate dan tidore untuk memotong jalan melalui hutan dan
pegunungan arah ke Ambon. Pada Desember 1817 Pasukan pimpinan Buyskes berhasil
meredakan pertempuran dan menangkap Kapitan pattimura bersama dengan tiga orang
panglimanya, dan mereka dijatuhi hukuman mati yang dijalankan di Benteng Niuew
Victoria di Ambon. beberapa pemimpin yang lain juga bernasib sama.
3. Perang Paderi
Pengertian Perang Padri
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung
di daerah Minangkabau (Sumatra Barat) dan sekitarnya terutama di kerajaan
Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.
Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Istilah Padri berasal dari kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama yang selalu berpakaian putih. Para pengikut gerakan padri biasanya memakai jubah putih. Sedangkan kaum adat memakai pakaian hitam.
Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Istilah Padri berasal dari kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama yang selalu berpakaian putih. Para pengikut gerakan padri biasanya memakai jubah putih. Sedangkan kaum adat memakai pakaian hitam.
Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa
disebut gerakan Padri karena para pemimpin gerakan ini adalah orang Padari,
yaitu orang-orang yang berasal dari Pedir yang telah naik haji ke Mekah melalui
pelabuhan Aceh yaitu Pedir.
Adapun tujuan dari gerakan Padri adalah
memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka agar sesuai dengan
ajaran Islam yang murni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan ini
mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dari
kaum adat. (Mawarti, Djoened PNN, 1984:169).
Sebab Awal Terjadinya Perang Padri
Pada awalnya perang Padri disebabkan pertentangan
antara golongan Adat dengan golongan Padri. Masing-masing berusaha untuk
merebut pengaruh di masyarakat. Kaum adat adalah orang-orang yang masih teguh
dalam mempertahankan adat didaerahnya sehingga mereka tidak berkenan dengan
pembaharuan yang dibawa oleh kaum Padri. Agama Islam yang dijalankan kaum adat
sudah tidak murni, tetapi telah terkontaminasi atau telah terkontaminasi dengan
budaya setempat.
Kaum Padri adalah golongan yang berusaha
menjalankan Agama Islam secara murni sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Setealah
kaum Adat mengalami kekalahan, mereka meminta bantuan kepada Belanda yang
akhirya konflik ini berkembang menjadi konflik antara kaum Padri dengan
Belanda.
Periodesasi Gerakan Padri
Secara umum perang Padri dibagi dalam dua periode
yaitu :
A. Periode
1803 – 1821 (Perang antara Kaum Padri Melawan kaum Adat)
1. Sebab
terjadinya Perang
Pada tahun 1803, Minangkabau kedatangan tiga
orang yang telah menunaikan ibadah haji di Mekah, yaitu: H. Miskin dari pantai
Sikat, H. Sumanik dari Delapan Kota, dan H. Piabang dari Tanah Datar. Di Saudi
Arabia mereka memperoleh pengaruh gerakan Wahabi, yaitu gerakan yang bermaksud
memurnikan agama Islam dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Mereka yang
hendak menyebarkan aliran Wahabi di Minangkabau menamakan dirinya golongan
Paderi (Kaum Pidari).
Perang Padri dimulai dengan munculnya
pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki kaum Padri terhadap kaum Adat
karena kebiasaan-kebiasaan buruk yang marak dilakukan oleh kalangan
masyarakatdi kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan buruk yang
dimaksud sepertiperjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras,
tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta
longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. kebiasaan ini
semakin meluas dan mempengaruhi kaum mudanya.
Ternyata aliran wahabi ini ditentang oleh Kaum
Adat (ajaran Islam yang bercampur dengan adat setempat) yang terdiri dari
pemimpin-pemimpin adat dan golongan bangsawan.
Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-mula akan diselesaikan secara damai, tetapi tidak terdapat persesuaian pendapat. Akhirnya Tuanku Nan Renceh menganjurkan penyelesaian secara kekerasan sehingga terjadilah perang saudara yang bercorak keagamaan dengan nama Perang Padri (1803 – 1821).
Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-mula akan diselesaikan secara damai, tetapi tidak terdapat persesuaian pendapat. Akhirnya Tuanku Nan Renceh menganjurkan penyelesaian secara kekerasan sehingga terjadilah perang saudara yang bercorak keagamaan dengan nama Perang Padri (1803 – 1821).
2. Jalanya
Perang
Perang saudara ini mula-mula berlangsung di
Kotalawas. Selanjutnya menjalar ke daerah-daerah lain. Pada mulanya kaum Paderi
dipimpin Datuk Bandaro melawan kaum Adat di bawah pimpinan Datuk Sati. Karena
Datuk Bandaro meninggal karean terkena racun, selanjutnya perjuangan kaum Padri
dilanjutkan oleh Muhammad Syahab atau Pelo (Pendito) Syarif yang kemudian
dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol karena berkedudukan di Bonjol. Tuanku
Imam merupakan anak dari Tuanku Rajanuddin dari Kampung Padang Bubus, Tanjung
Bungo, daerah Lembah Alahan Pajang.
Dalam perang itu, kaum Padri mendapat kemenangan
di mana-mana. Sejak tahun 18815 kedudukan kaum Adat makin terdesakkarena
keluarga kerajaan Minangkabau terbunuh di Tanah Datar, sehingga kaum Adat
(penghulu) dan keluarga kerajaan yang masih hidup meminta bantuan kepada
Inggris (di bawah Raffles yang saat itu masih berkuasa di Sumatera Barat).
Karena Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda, maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda, dengan janji kaum Adat akan menyerahkan kedaulatan seluruh Minangkabau (10 Februari 1821). Permintaan itu sangat menggembirakan Belanda yang memang sudah lama mencari kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut.
Karena Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda, maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda, dengan janji kaum Adat akan menyerahkan kedaulatan seluruh Minangkabau (10 Februari 1821). Permintaan itu sangat menggembirakan Belanda yang memang sudah lama mencari kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut.
3.
Pemimipin yang terlibat
• Kaum Pidari dipimpin oleh Datuk Bandaro, Datuk
Malim Basa,Tuanku Imam Bonjol Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Nan
Cerdik.
• Kaum Adat dipimpin oleh Datuk Sati.
B. Periode
1821 – 1838 (Perang antara Kaum Padri Melawan Belanda)
Sejak disetujuinya perjanjian antar kaum adat
dengan Belanda mengenai penyerahan kerajaan Minangkabau kepada Belanda pada
tanggal 10 Februari 1821, hal ini menjadi tanda dimulainya keikutsertaan
Belanda dalam melawan kaum Padri.
Dalam perang antara kaum Padri melawan Belanda, jalanya perang dibagi menjadi tiga periode:
Dalam perang antara kaum Padri melawan Belanda, jalanya perang dibagi menjadi tiga periode:
1. Periode
I (Tahun 1821 – 1825)
Periode pertama ini ditandai dengan meletusnya
perlawanan di seluruh daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman,
kaum Paderi menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air,
Sipinan, dan tempat-tempat lain. Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua
belah pihak. Tuanku Pasaman, kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau,
sebaliknya Belanda yang telah berhasil menguasai lembah Tanah Datar, mendirikan
benteng pertahanan di Batusangkar ( Fort Van den Capellen) dan Benteng Fort de
Kock di Bukittinggi.
Ternyata Belanda hanya dapat bertahan di benteng-benteng itu saja. Daerah luar benteng masih tetap dikuasai oleh kaum Pidari. Belanda mengalami kekalahan di mana-mana, bahkan pernah mengalami kekalahan total di Muara Palam dan di Sulit Air.
Ternyata Belanda hanya dapat bertahan di benteng-benteng itu saja. Daerah luar benteng masih tetap dikuasai oleh kaum Pidari. Belanda mengalami kekalahan di mana-mana, bahkan pernah mengalami kekalahan total di Muara Palam dan di Sulit Air.
Untuk itu, Belanda mulai mendekati kaum Padri
ntuk melakukan perdamaian dan pada tanggal 22 Januari 1824 Belanda berhasil
mengadakan perdamaian dengan kaum Padri di Masang dan di daerah VI Kota,
isinya: kedua belah pihak akan mentaati batasnya masing-masing.
Adanyaperundingan ini sebenaranya hanya menguntungkan pihak Belanda untk
menunda waktu guna memperkuat diri.
Setelah berhasil memperkuat pertahannanya,
Belanda tidak mau mentaati perjanjian dan dua bulan kemudian Belanda meluaskan
daerahnya.
2. Periode
II (Tahun 1825 – 1850)
Pada periode ini ditandai dengan meredanya
pertempuran. Kaum Padri perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda dalam
keadaan sulit, sebab baru memusatkan perhatiannya dan pengeriman pasukan untuk
menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa Tengah.
Belanda mencari akal agar dapat berdamai dengan kaum Padri. Dengan perantaraan seorang bangsa Arab yang bernama Said Salima ‘Ijafrid, Belanda berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum Padri tanggal 15 November 1825 di Padang, yang isinya:
Belanda mencari akal agar dapat berdamai dengan kaum Padri. Dengan perantaraan seorang bangsa Arab yang bernama Said Salima ‘Ijafrid, Belanda berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum Padri tanggal 15 November 1825 di Padang, yang isinya:
• Kedua belah pihak tidak akan saling serang menyerang.
• Kedua belah pihak saling melindungi orang-orang
yang sedang pulang kembali dari pengungsian.
• Kedua belah pihak akan saling orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan berdagang.
• Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku-Tuanku di Lintau, Limapuluhkota, Telawas dan Agama.
• Kedua belah pihak akan saling orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan berdagang.
• Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku-Tuanku di Lintau, Limapuluhkota, Telawas dan Agama.
3. Periode III (Tahun 1830-1838)
Periode ketiga ini ditandai dengan perlawanan di
kedua belah pihak makin menghebat. Perang Diponegoro di Jawa Tengah telah dapat
diselesaikan Belanda dengan tipu muslihatnya. Perhatiannya lalu dipusatkan lagi
ke Minangkabau. Maka berkobarlah Perang Padri periode ketiga.
Belanda telah mengingkari Perjanjian Padang.
Pertempuran mulai berkobar di Naras daerah Pariaman. Naras yang dipertahankan
oleh Tuanku Nan Cerdik diserang oleh Belanda sampai dua kali tetapi tidak
berhasil. Setelah Belanda menggunakan senjata yang lebih lengkap di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Elout yang dibantu Mayor Michiels, Naras dapat direbut
oleh Belanda. Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol, selanjutnya daerah-daerah
kaum Pidari dapat direbut oleh Belanda satu demi satu, sehingga pada tahun 1832
Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berdamai
dengan Belanda. Akan tetapi ketenteraman itu tidak dapat berlangsung lama,
karena rakyat diharuskan:
• Membayar cukai pasar dan cukai mengadu ayam.
• Kerja rodi untuk kepentingan Belanda.
Dengan hal-hal tersebut di atas, sadarlah kaum
Adat dan kaum Pidari bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh Belanda.
Perasaan nasionalisme mulai timbul dan menjiwai mereka masing-masing.
Selanjutnya terjadilah perang nasional melawan Belanda. Pada tahun 1833 seluruh
rakyat Sumatera Barat serentak menghalau Belanda. Bonjol dapat direbut kembali
dan semua pasukan Belanda di dalamnya dibinasakan. Karena itu Belanda mulai
mempergunakan siasat adu domba (devide et empera).
Dikirimkanlah Sentot beserta pasukan-pasukannya
yang menyerah kepada Belanda waktu Perang Diponegoro ke Sumatera Barat untuk
berperang melawan orang-orang sebangsanya sendiri. Tetapi setelah Belanda
mengetahui bahwa Sentot mengadakan hubungan dengan kaum Pidari secara rahasia,
Belanda menjadi curiga. Pasukan Sentot ditarik kembali ke Batavia dan Sentot
diasingkan ke Bangkahulu.
Untuk mengakhiri Perang Padri itu, Belanda
berusaha menarik hati para raja di Minangkabau dengan cara mengeluarkan Plakat
Panjang (1833) yang isinya:
1. Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak
berat dan pekerjaan rodi.
2. Perdagangan hanya dilakukan dengan Belanda saja.
2. Perdagangan hanya dilakukan dengan Belanda saja.
3. Kepala daerah boleh mengatur pemerintahan
sendiri, tetapi harus menyediakan sejumlah orang untuk menahan musuh dari dalam
atau dari luar negeri.
4. Para pekerja diharuskan menandatangani
peraturan itu. Mereka yang melanggar peraturan dapat dikenakan sanksi.
Akhir Perang Padri
Di tahun 1835
kaum Padri di Bonjol mulai mengalami kemunduran, hal tersebut disebabkan ditutupnya
jalan-jalan penghubung dengan daerah lain oleh paskan Belanda. Pada tanggal
11-16 Juni 1835 sayap kanan pasukan Belanda berhasil menutup jalan yang
menghubungkan benteng Bonjol dengan daerah barat dan menembaki benteng Bonjol.
Setelah
daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda,. Membaca situasi yang
gawat ini, pada tanggal 10 Agustus 1837, Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia
untuk berdamai. Belanda mengharapkan bahwa perdamaian ini disertai dengan
penyerahan. Tetapi Belanda menduga bahwa ini merupakan siasat dari Tuanku Imam
Bonjol guna mengulur waktu, agar dapat mengatur pertahanan lebih baik, yaitu
membuat lubang yang menghubungkan pertahanan dalam benteng dengan luar benteng,
di samping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar benteng.
Kegagalan
perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12
Agustus 1837. Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng
Bonjol, yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng
Bonjol tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat.
Perkelahian satu lawan satu tidak dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan
dari kedua belah pihak. Pasukan Padri terdesak dan benteng Bonjol dapat
dimasuki oleh pasukan Belanda.
Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah kepada Belanda. Tuanku Imamm Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, lalu pada tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga meninggal dunia pada tanggal 6 November 1864.
Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah kepada Belanda. Tuanku Imamm Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, lalu pada tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga meninggal dunia pada tanggal 6 November 1864.
Walaupun Tuanku
Imam Bonjol telah menyerah tidak berarti perlawanan kaum Padri telah dapat
dipadamkan. Perlawanan masih terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi,
namun Tuanku Tambusi berhasil dikalahkan oleh Belanda pada tanggal 28 Oktober
1838.
Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat dipatahkan pada akhir tahun 1838. Maka kekuasaan Belanda mulai sejak itu ternanam di Sumatra Barat.
Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat dipatahkan pada akhir tahun 1838. Maka kekuasaan Belanda mulai sejak itu ternanam di Sumatra Barat.
Kesimpulan :
Telah digambarkan bagaimana daerah-daerah di Indonesia satu persatu jatuh
ke tangan Belanda. Dengan berbagai cara, rakyat Indonesia di berbagai daerah
berusaha terus untuk bertahan. Bila semua raja-raja di Indonesia memiliki
armada-armada niaga yang besar, maka setelah kerajaannya ditundukkan oleh Belanda,
maka armada-armadanya segera ditumpas oleh Belanda. Di samping itu, peraturan
Belanda yang monopolitis mengakibatkan terdesaknya ke sudut kebebasan
perdagangan rakyat Indonesia. Karena berjuang untuk kelangsungan hidupnya,
rakyat yang hidup di pantai-pantai selalu berusaha menerobos monopoli Belanda.
Tindakan seperti itu oleh Belanda disebut perdagangan gelap atau penyelundup.
Namun demikian, tindakan-tindakan rakyat Indonesia tersebut jelas merupakan
bentuk perlawanan yang tak henti-hentinya terhadap imperialisme Barat.
maaf yaa kalo msih banyak kekurangan seenggaknya sedikit membantu :)
thank you ..